Guru: Pilar Pendidikan atau Beban Negara

Oleh : Mukhlis Zr.

Menggugat Narasi yang Menyudutkan Guru

Guru: Pilar Pendidikan atau Beban Negara ? Ketika perdebatan anggaran negara mencuat, nama guru kerap ikut terseret ke meja wacana. Sebagian, ada pihak yang sinis menyebut jumlah guru yang begitu banyak sebagai “beban negara”. Narasi ini memantik kontroversi: benarkah profesi yang selama ini kita kenal sebagai pilar peradaban justru dianggap penghalang pembangunan? Ataukah sebenarnya guru tetap menjadi penopang utama yang memastikan masa depan bangsa tidak runtuh?

Pernyataan ini jelas provokatif. Namun, ia membuka ruang penting untuk refleksi: bagaimana sesungguhnya negara memandang guru, sebagai investasi jangka panjang, atau sekadar pos pengeluaran yang membebani kas APBN?

Guru Bukan Angka di Neraca 

Di tengah gegap gempita pembangunan infrastruktur, kita sering lupa bahwa guru adalah “arsitek” sejati yang merancang fondasi bangsa. Jika jalan tol bisa mempercepat mobilitas ekonomi, maka guru mempercepat peradaban manusia. Sayangnya, penghargaan terhadap profesi guru kerap direduksi sebatas gaji, tunjangan, atau jumlah formasi.

Padahal, secara hukum, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa guru adalah tenaga profesional yang memiliki kedudukan terhormat. UU ini dengan jelas menyebut guru berfungsi sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Artinya, negara seharusnya melihat guru sebagai instrumen strategis, bukan sekadar angka belanja.

Menempatkan guru hanya sebagai beban fiskal adalah logika yang simplistis sekaligus berbahaya. Guru bukan angka mati dalam tabel APBN, melainkan motor penggerak kualitas sumber daya manusia. Tanpa mereka, bonus demografi hanya akan menjadi malapetaka demografi, populasi besar tanpa kualitas.

Baca Juga: Cinta Perspektif Bangunan Ilmu: Fondasi Kurikulum Berbasis Cinta

Pilar yang Terlupakan

Publik kerap memuja guru dengan retorika manis, ‘pahlawan tanpa tanda jasa’, ‘pelita dalam kegelapan’, hingga ‘pilar bangsa’. Di balik pujian itu, kenyataan berbicara lain: banyak guru terjebak dalam ketidaksejahteraan, ditindih beban kerja yang menumpuk, dipusingkan birokrasi sertifikasi yang berbelit, dan digantungkan nasibnya dalam status honorer yang tak menentu, luka yang jarang diungkap dengan jujur.

Jika guru benar dianggap pilar, mengapa masih banyak sekolah yang kekurangan tenaga pendidik yang mumpuni? Mengapa distribusi guru masih timpang antara kota dan daerah pelosok? Dan mengapa kebijakan rekrutmen guru lebih sering dipandang dari kacamata efisiensi anggaran, bukan berdasarkan kebutuhan pendidikan bangsa?

Mengapa Narasi “Beban Negara” Harus Dikritisi

Menyebut guru sebagai beban negara sama saja dengan menuduh oksigen sebagai beban paru-paru. Pendidikan tidak bisa dipandang sebagai cost, tetapi harus dilihat sebagai investment. Negara-negara maju membuktikan hal ini: mereka berani mengalokasikan anggaran besar untuk kesejahteraan guru karena sadar, kualitas guru berbanding lurus dengan kualitas generasi masa depan.

Apalagi, UU Guru dan Dosen (2005) juga menegaskan hak guru untuk memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum, serta jaminan kesejahteraan sosial. Artinya, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menyejahterakan guru, bukan mendiskreditkan mereka sebagai beban negara.

Indonesia, dengan visi menuju Generasi Emas 2045, tentu tidak bisa membangun peradaban hanya dengan beton dan baja. Yang lebih penting adalah membangun manusia, dan di situlah peran guru menjadi mutlak.

Saatnya Mengubah Paradigma

Pemerintah seharusnya menggeser paradigma dengan memandang guru bukan sebagai beban, melainkan sebagai investasi produktif. Langkah strategis yang bisa ditempuh adalah dengan:

  1. Meningkatkan Kesejahteraan Secara Merata – Gaji dan tunjangan guru harus seimbang dengan beban kerja dan biaya hidup. Guru honorer tidak boleh lagi diperlakukan sebagai “kelas dua”.
  2. Distribusi dan Rekrutmen Berbasis Kebutuhan – Guru di pelosok harus mendapatkan insentif khusus, agar disparitas pendidikan tidak semakin melebar.
  3. Pengembangan Kompetensi Berkelanjutan – Guru bukan hanya mengajar, tetapi juga harus terus belajar. Negara wajib menyediakan ruang pelatihan dan peningkatan kapasitas, bukan sekadar menuntut standar tinggi tanpa dukungan.
  4. Memuliakan Martabat Guru dalam Kebijakan Publik – Setiap kebijakan pendidikan harus meletakkan guru sebagai subjek, bukan objek.

Menjawab Pertanyaan: Pilar atau Beban?

Jika kita jujur, guru adalah pilar, bukan beban. Tanpa guru, sekolah hanyalah bangunan kosong, kurikulum hanyalah dokumen kering, dan siswa hanyalah kumpulan individu tanpa arah. Guru memberi jiwa pada sistem pendidikan.

Maka, narasi “beban negara” justru menunjukkan betapa rapuhnya cara kita menghargai profesi ini. Menganggap guru beban sama saja dengan merobohkan tiang penyangga rumah, lalu berharap atap tetap berdiri kokoh.

Baca Juga: 4 Ruang Lingkup Kurikulum Berbasis Cinta

Mari Kembalikan Martabat Guru

Artikel ini bukan sekadar kritik terhadap narasi yang berkembang, tetapi juga seruan untuk mengubah cara pandang. Guru adalah investasi jangka panjang, pilar peradaban, dan harapan bangsa. Jika negara terus melihat guru sebagai beban, maka kita sedang menyiapkan generasi yang lemah, rapuh, dan kehilangan arah.

Pertanyaannya kini bukan lagi “Guru: Pilar Pendidikan atau Beban Negara?” melainkan “Apakah bangsa ini berani memperlakukan guru sebagaimana mestinya, sebagai pilar kokoh yang menopang masa depan Indonesia?”

Wassalam.  .

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *