Guru dituntut sebagai Teladan Cinta, Negara Pertontonkan Kekerasan, Di ruang-ruang kelas, guru dituntut untuk menghadirkan pembelajaran berbasis cinta. Guru tidak lagi hanya sekedar berperan sebagai pengajar, melainkan juga sebagai penanam kasih sayang, empati, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Meskipun murid berbuat kesalahan-kesalahan, namun sedikitpun kekerasan tidak diizinkan. Konsep pendidikan humanis yang saat ini digaungkan memancarkan optimisme, menempatkan guru sebagai fasilitator yang penuh kelembutan, bukan instruktur yang menakutkan.
Murid-murid diajak berdialog, dihargai keunikannya, dan dirawat kepribadiannya dengan penuh cinta. Inilah cita-cita luhur pendidikan: menumbuhkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter penuh kasih sayang.
Ironi di Jalan Raya: Negara Mempertontonkan Kekerasan
Namun, di jalan-jalan kota kita menyaksikan ironi pahit. Ketika guru dipaksa menebar cinta di kelas, negara justru mempertontonkan kekerasan kepada rakyatnya sendiri. Gas air mata mengepul, pentungan aparat menghantam, dan kendaraan lapis baja melindas tubuh manusia yang seharusnya dilindungi.
Tragedi yang merenggut nyawa Affan Kurniawan, seorang pengemudi Ojek Online (Ojol) dalam sebuah demonstrasi baru-baru ini, seolah menjadi cermin buram wajah kekuasaan kita hari ini. Peristiwa itu bukan sekadar insiden tunggal, melainkan bagian dari pola kekerasan yang kian mengkhawatirkan. Catatan KontraS mempertegas hal ini: hanya dalam rentang Januari–Juni 2025, terjadi 76 kasus pelanggaran kebebasan sipil yang melibatkan aktor negara maupun non-negara, dengan 503 korban dan mirisnya, 440 di antaranya adalah mahasiswa, generasi yang seharusnya dilindungi sebagai pewaris masa depan bangsa.
Aparat yang seharusnya menjaga keamanan justru meninggalkan luka. Murid-murid bangsa ini akhirnya belajar pelajaran yang paling kelam: bahwa kekuasaan berjalan di atas rasa takut, bukan kasih sayang.
Pesan Buruk bagi Generasi Muda
Pertanyaannya: apa yang akan dipelajari anak-anak ketika melihat rakyat dipukul karena menyuarakan keadilan? Bagaimana mereka memaknai demokrasi jika suara kritis dibalas dengan represi?
Nilai cinta yang ditanamkan guru di sekolah bisa runtuh hanya karena tontonan kekerasan di layar kaca atau linimasa media sosial. Pepatah mengatakan, “anak lebih mudah meniru daripada mendengar nasihat.” Jika ruang publik terus diwarnai kebrutalan aparat, bagaimana mungkin pendidikan cinta bisa tumbuh subur di hati mereka?
Pendidikan Humanis vs Politik Dehumanisasi
Ironi ini semakin menyesakkan: kurikulum menuntut humanisme, tetapi realitas politik justru menampilkan dehumanisasi. Guru diminta bersabar, sementara aparat menunjukkan amarah. Guru dituntut mengajarkan kasih sayang, tetapi negara justru menunjukkan bahwa kekerasan adalah bahasa kekuasaan.
Pada akhirnya, pendidikan cinta hanya menjadi jargon kosong jika negara gagal memberi teladan.
Perspektif Islam: Kekuasaan Sejati Adalah Rahmah
Al-Qur’an menegaskan bahwa kekuasaan sejati bukanlah dominasi, melainkan rahmah. Allah berfirman:
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiya: 107)
Ayat ini menekankan bahwa otoritas sejati adalah otoritas yang menebarkan kasih, bukan melahirkan luka. Jika bangsa ini ingin melahirkan generasi emas 2045 yang berkarakter mulia, maka negara harus hadir sebagai teladan cinta, bukan sebagai mesin represif.
Kekerasan Aparat, Pengkhianatan atas Pendidikan
Tindakan kekerasan aparat terhadap demonstran bukan hanya pelanggaran HAM, melainkan juga pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan nasional. Bagaimana mungkin kita berharap generasi emas lahir dari bangsa yang di satu sisi menanam cinta di kelas, tetapi di sisi lain menabur ketakutan di jalan?
Pendidikan dan kekuasaan seharusnya saling menopang. Sekolah menyiapkan manusia yang penuh kasih, sementara negara menciptakan ruang aman agar cinta itu berkembang menjadi solidaritas sosial.
Saatnya Negara Menjadi Teladan Cinta
Kini saatnya bangsa ini bercermin. Guru tidak bisa dibiarkan berjuang sendiri mengajarkan cinta, sementara negara terus mempertontonkan kekerasan. Jika pendidikan adalah investasi masa depan, maka negara wajib menghentikan kebrutalan dan mulai menghadirkan kasih dalam kebijakan maupun tindakan aparatnya.
Hanya dengan begitu, murid-murid kita benar-benar belajar pelajaran paling mendasar: bahwa menjadi manusia berarti mencintai, bukan melukai.
Baca Juga:
Wajah Kekuasaan yang Menginjak: Semut, Ojol, dan Raja dalam Cermin Al-Qurán
Guru: Pilar Pendidikan atau Beban Negara ?
Kurikulum Berbasis Cinta (KBC): Antara Visi Ideal dan Praktik di Lapangan