Krisis Literasi di Era Digital
Sebuah negeri di mana buku hanyalah hiasan bisu di rak-rak, halaman-halamannya tak pernah disentuh, dan perpustakaan megah berdiri sepi seperti monumen yang terlupakan. Di negeri itu, jutaan tangan setiap hari sibuk menggenggam ponsel pintarnya, namun sangat jarang sekali menggenggam buku. Negeri itu, kini adalah kita, Indonesia. Di tengah gemuruh gelombang teknologi yang membawa berbagai kemudahan, kita justru membiarkan seni membaca perlahan-lahan tenggelam. Hal tersebut tergambarkan di warung-warung kopi saat ini, pandangan kita seringkali tertuju pada pemandangan yang sama: anak remaja hingga orang dewasa yang menunduk, matanya terpaku pada layar ponselnya, dengan jemarinya yang lincah berselancar, berpindah dari satu video ke video yang lain, tenggelam dalam lautan konten digital yang tak berujung.
Baca juga : Bendera One Piece dan Merah Putih: Antara Kreativitas, Kritik, dan Nasionalisme
Padahal di meja sebelahnya, sebuah novel tebal tampak tak tersentuh, sampulnya tertutup debu tipis., hanya menjadi pajangan saja. Pemandangan kecil ini bukan hanya sekadar potongan cerita, melainkan potret besar dari realitas yang kini kita hadapi. Indonesia, yang kaya akan cerita, kini terancam kehilangan pembacanya. Apakah kita akan membiarkan buku-buku ini terus sepi, dan membiarkan budaya literasi kita tergerus begitu saja?
Indonesia, tanah dengan 221 juta penduduk sebagai pengguna internet atau setara dengan 79,5 persen dari total seluruh populasi, menjadi negara yang salah satu paling aktif di media sosial (Komdigi), namun rapuh dalam kemampuan membaca. Skor literasi membaca pelajar kita di survei PISA 2022 hanya 359, jauh tertinggal dari rata-rata global 476. Menurut UNESCO, minat baca masyarakat kita nyaris tak terdeteksi: hanya 0,001 persen. Dari seribu orang, hanya satu yang benar-benar menggemari membaca.
Membaca adalah Petualangan di Era Digital
Dulu, membaca adalah petualangan sunyi, membuka lembar demi lembar seperti menyusuri lorong pikiran penulis, mengurai kata-kata yang menuntut kesabaran dan kejernihan. Kini, petualangan itu tergantikan oleh budaya geser layar. Headline sensasional mengalahkan paragraf penuh makna. Potongan video menggusur halaman buku. Kita semakin akrab dengan informasi instan, namun semakin asing dengan pemahaman mendalam. Padahal, akses ke bacaan tak pernah semudah saat ini: e-book, artikel daring, perpustakaan digital, semua ada dalam genggaman. Tetapi kenyataannya, tiga jam lebih setiap hari rata-rata masyarakat kita habiskan waktu di media sosial, membiarkan pikiran terseret arus hiburan yang cepat berlalu.
Masalah ini mengakar di banyak sisi. Pendidikan kita masih terjebak pada hafalan, bukan pemahaman. Guru terlalu dibebani administrasi, waktu untuk menumbuhkan minat baca siswa tergerus. Di luar kelas, harga buku masih tinggi bagi banyak keluarga. Perpustakaan di kota kecil menyimpan buku-buku usang, sementara perpustakaan sekolah di pelosok bahkan nyaris tak berfungsi. Di sini, jarak antara mereka yang punya akses bacaan berkualitas dan yang tidak semakin menganga, membentuk jurang literasi yang berbahaya.
Bahaya Krisis Literasi di Era Digital
Bahaya itu nyata. Literasi bukan sekadar mengenali huruf, melainkan kemampuan berpikir kritis, memilah fakta dari opini, dan menilai kebenaran dari kebohongan. Tanpa literasi, kita mudah termakan hoaks, diombang-ambing opini, dan terjebak polarisasi sosial yang menggerus persatuan. Di era banjir informasi, literasi menjadi perahu yang menjaga kita tetap tegak; tanpanya, kita hanyalah penumpang yang hanyut tanpa arah. Meski begitu, kondisi ini bukan vonis akhir. Perubahan bisa kita mulai dari hal kecil: orang tua membaca buku di rumah, guru membacakan cerita sebelum pelajaran, atau komunitas menghidupkan taman baca di gang sempit. Pemerintah dapat menata ulang kurikulum agar membaca kritis menjadi inti pembelajaran, memperluas distribusi buku murah, dan menjadikan perpustakaan ruang hidup, bukan bangunan sunyi. Bahkan, gerakan di media sosial bisa menjembatani semangat digital dengan tradisi membaca yang mendalam.
Baca juga : Masjid, Madrasah, dan Media: Tiga Pilar Edukasi Islam
Seni membaca adalah seni memahami dunia, melampaui layar, melampaui arus informasi dangkal, menuju kebijaksanaan yang hanya lahir dari perenungan. Jika seni ini hilang, kita akan kehilangan kemampuan melihat melampaui permukaan. Di tengah derasnya arus digital, mempertahankan kebiasaan membaca bukanlah romantisme masa lalu. Ia adalah kebutuhan mendesak untuk memastikan masa depan bangsa ini diisi oleh pikiran yang kritis, hati yang bijak, dan mata yang benar-benar terbuka.
Pentingnya Literasi di Era Digital
Masa depan bangsa tidak lahir dari kecanggihan teknologi, tetapi dari kemampuan warganya berpikir, memahami, dan menilai dunia di sekitarnya. Membaca menjadi jembatan menuju kedalaman itu, jembatan yang kini rapuh karena jarang kita lalui. Jika kita membiarkan seni membaca hilang, kita tidak hanya kehilangan kebiasaan, tetapi juga daya nalar yang menjadi fondasi peradaban. Karena itu, mari kita rebut kembali waktu dari layar yang terus menggoda, mari kita buka kembali halaman demi halaman, dan mari kita rawat kebiasaan membaca sebagaimana kita merawat masa depan. Tanpa literasi, masa depan hanyalah cerita yang ditulis orang lain, sementara kita hanya menjadi penonton.
Baca Juga: Masjid untuk Semua Usia: Mewujudkan Ruang Ibadah yang Inklusif dan Edukatif
[…] Berbasis Cinta (KBC): Antara Visi Ideal dan Praktik di Lapangan Krisis Literasi di Era Digital: Saat Seni Membaca Perlahan Menghilang Bendera One Piece dan Merah Putih: Antara Kreativitas, Kritik, dan Nasionalisme Masjid untuk […]
[…] Berbasis Cinta (KBC): Antara Visi Ideal dan Praktik di Lapangan Krisis Literasi di Era Digital: Saat Seni Membaca Perlahan Menghilang Bendera One Piece dan Merah Putih: Antara Kreativitas, Kritik, dan Nasionalisme Masjid untuk […]
[…] Berbasis Cinta (KBC): Antara Visi Ideal dan Praktik di Lapangan Krisis Literasi di Era Digital: Saat Seni Membaca Perlahan Menghilang Bendera One Piece dan Merah Putih: antara Kreativitas , Kritik Sosial, dan Nasionalisme Baru […]
[…] Masa Depan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC): Antara Visi Ideal dan Praktik di Lapangan Krisis Literasi di Era Digital: Saat Seni Membaca Perlahan Menghilang Bendera One Piece dan Merah Putih: antara Kreativitas, Kritik Sosial, dan Nasionalisme Baru […]
[…] Masa Depan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC): Antara Visi Ideal dan Praktik di Lapangan Krisis Literasi di Era Digital: Saat Seni Membaca Perlahan Menghilang Bendera One Piece dan Merah Putih: antara Kreativitas, Kritik Sosial, dan Nasionalisme Baru […]