mukhliszr.mj-vers.com

Kurikulum Berbasis Cinta (KBC): Antara Visi Ideal dan Praktik di Lapangan

Kurikulum Berbasis Cinta (KBC)

Di tengah gelombang globalisasi yang kian deras dan laju teknologi yang nyaris tanpa jeda, pendidikan Indonesia dihadapkan pada tantangan mendasar: ruh kemanusiaan perlahan memudar dari ruang-ruang belajar.

Sekolah dan madrasah sering kali terjebak dalam perlombaan angka (nilai ujian), peringkat, dan sertifikat, sementara itu empati, kepedulian, serta kasih sayang kian tersisih dari prioritas.

Menjawab kegelisahan ini, Kementerian Agama pada 24 Juli 2025 memperkenalkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC), sebuah terobosan yang menawarkan lebih dari sekadar revisi materi pelajaran. KBC mengusung perubahan paradigma: pendidikan tidak hanya mencetak manusia yang cerdas, tetapi juga yang berperasaan, yang mencintai Tuhan, sesama, ilmu pengetahuan, lingkungan, dan tanah air.

Gagasan ini hadir sebagai pengingat bahwa pendidikan sejati harus menyentuh nurani, bukan hanya proses menjejalkan fakta dan rumus ke kepala peserta didik, tetapi juga menumbuhkan kesadaran ekologis, mengasah empati, dan menanamkan kasih sayang sebagai fondasi kehidupan.

Dalam semangat itulah, Kementerian Agama Republik Indonesia melalui KBC berupaya mengembalikan jiwa pendidikan Indonesia, untuk membentuk generasi yang bukan hanya pintar, tapi juga bijak dan peduli.

Baca juga: Krisis Literasi di Era Digital: Saat Seni Membaca Perlahan Menghilang

Mengapa Pendidikan Kita Butuh Cinta? 

Selama bertahun-tahun, sistem pendidikan kita lebih menekankan aspek kognitif. Siswa diukur dari seberapa tinggi nilai ujian mereka, bukan dari seberapa dalam rasa peduli yang mereka miliki terhadap orang lain. Fenomena seperti bullying, intoleransi, dan rendahnya rasa hormat terhadap guru menjadi alarm peringatan.

Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar, menegaskan bahwa KBC lahir dari kegelisahan terhadap pendidikan yang hanya mengandalkan kecerdasan akademik tanpa menyentuh hati. KBC hadir untuk mengingatkan bahwa sekolah seharusnya tidak hanya mencetak manusia pintar, tetapi juga manusia yang punya nurani.

Di sinilah Kurikulum Berbasis Cinta, membawa lima nilai utama atau Panca Cinta:

  1. Cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa – Menumbuhkan spiritualitas dan rasa syukur dalam setiap langkah.
  2. Cinta kepada diri dan sesama – Mengajarkan empati, menghargai perbedaan, dan membangun persaudaraan.
  3. Cinta kepada ilmu pengetahuan – Memotivasi murid belajar dengan semangat, bukan keterpaksaan.
  4. Cinta kepada lingkungan – Menanamkan kepedulian terhadap alam dan keberlanjutan bumi.
  5. Cinta kepada bangsa dan negeri – Membentuk generasi yang bangga dan bertanggung jawab pada Indonesia.

Dengan fondasi ini, Kurikulum Berbasis Cinta berupaya mencetak generasi yang pintar sekaligus peduli, selaras dengan kebutuhan pendidikan abad ke-21, yang sarat kompetisi dan individualisme.

Kurikulum Berbasis Cinta (KBC)

Baca juga: Masjid, Madrasah, dan Media: Tiga Pilar Edukasi Islam

Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) Mengajar dengan Hati di Era Digital

Era digital membawa kemudahan luar biasa, tetapi juga tantangan baru. Hubungan guru dan murid berisiko menjadi semakin impersonal, tergantikan layar dan algoritma. KBC menjadi penyeimbang, mengingatkan bahwa di balik gawai dan aplikasi, manusia tetap butuh sentuhan hati.

Guru dalam kerangka KBC bukan sekadar pengajar, melainkan pembimbing yang penuh kasih. Sebagai teladan, menanamkan nilai cinta dalam setiap interaksi, dan menciptakan ruang kelas yang aman, inklusif, serta bebas dari intimidasi.

Tantangan Praktis dan Realitas Lapangan

Gagasan Kurikulum Berbasis Cinta terdengar indah di telinga, siapa yang menolak pendidikan yang menumbuhkan kasih sayang, empati, dan kepedulian? Namun, begitu kaki menjejak di lapangan, kita dihadapkan pada kenyataan yang tak selalu selaras dengan cita-cita. Diantaranya:

  1. Apakah guru-guru kita sudah siap menanamkan nilai cinta di tengah padatnya beban administratif dan tuntutan kurikulum akademik yang ketat? Panduan, pelatihan pun memang, tetapi di ruang kelas, kesiapan mental, kreativitas, dan kemampuan pedagogis tidak bisa tumbuh dengan
  2. Bagaimana pula dengan madrasah di pelosok, yang akses internetnya tersendat dan jumlah gurunya terbatas? Uji coba di 12 madrasah mungkin memberi gambaran awal, tetapi realitas pendidikan Indonesia jauh lebih beragam dan kompleks dari itu.
  3. Lalu, bagaimana kita menilai keberhasilan KBC? Kita tidak bisa mengukur empati, cinta lingkungan, dan rasa nasionalisme dengan lembar jawaban pilihan ganda. Kita harus berani mengembangkan evaluasi yang lebih holistik, bukan kembali tergoda oleh angka-angka yang mudah dihitung tetapi miskin makna.

Next. .

4. Kita juga harus jujur mengakui: ijazah tinggi tak selalu sejalan dengan moral yang mulia. Bukankah kita pernah menyaksikan orang berpendidikan tinggi justru terjerat kasus yang tidak diinginkan? 

5. Dan terakhir, apakah kita siap menghadapi resistensi dari para pendidik yang sudah nyaman dengan pola lama? Apakah kita sanggup menyediakan sumber daya yang cukup untuk pelatihan dan adaptasi materi? Tanpa komitmen jangka panjang dan evaluasi yang serius, KBC berisiko menjadi bunga indah yang cepat layu sebelum sempat berbuah.

Baca juga: Bendera One Piece dan Merah Putih: Antara Kreativitas, Kritik, dan Nasionalisme

Harapan Dengan Catatan

Kurikulum Berbasis Cinta patut di apresiasi sebagai gagasan transformatif bagi pendidikan Indonesia. Ia membawa visi yang tak hanya mengedepankan kecerdasan intelektual, tetapi juga sentuhan nurani, empati, dan kepedulian. Meski begitu, cita-cita besar ini tidak akan tercapai tanpa komitmen nyata di tingkat implementasi. Pelatihan guru yang berkelanjutan, penyesuaian materi sesuai konteks lokal, metode evaluasi yang kreatif, serta peneguhan peran guru sebagai ujung tombak perubahan menjadi syarat mutlak.

Dengan memenuhi prasyaratnya, Kurikulum Berbasis Cinta dapat menjadi pondasi kokoh bagi Indonesia Emas 2045, melahirkan generasi yang pintar sekaligus bijak, toleran, dan penuh cinta. Namun keberhasilannya tidak dapat diukur dari seberapa sering diagungkan di seminar atau tertulis di dokumen, melainkan dari jejak nyata: murid yang menolong tanpa diminta, menjaga lingkungan tanpa diperintah, menghormati guru tanpa paksaan, dan menjunjung kejujuran. Saat itu terjadi, barulah cinta benar-benar menjadi napas pendidikan Indonesia. Hingga hari itu tiba, tugas kita belum selesai, dan tanggung jawab itu tetap berada di pundak kita semua.

Author & Editor : Mukhlis Zr

Exit mobile version