Mulia Tanpa Sejahtera? Paradoks Profesi Guru
Mulia Tanpa Sejahtera? Paradoks Profesi Guru

Mulia Tanpa Sejahtera? Paradoks Profesi Guru – Guru masih dipuja dengan mantera lama: “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, pelita dalam kegelapan, arsitek peradaban.” Kata-kata indah itu menempatkan profesi guru di singgasana kemuliaan, tetapi di balik pujian yang terus dilantunkan, banyak guru justru menjalani hidup jauh dari sejahtera. Negara menuntut mereka mencetak generasi emas 2045, sementara dapur rumah tangganya sendiri sering tidak berasap. Inilah paradoks yang menyakitkan: memuliakan guru, tetapi tidak menyejahterakannya.

Kemuliaan yang Tak Terbayar

Dalam tradisi bangsa ini, guru menempati posisi mulia. Pepatah Jawa mengatakan “Guru digugu lan ditiru” , guru dipercaya dan diteladani. Dalam Islam, derajat orang berilmu bahkan ditempatkan tinggi di sisi Allah. Dari Ki Hajar Dewantara hingga tokoh pendidikan kontemporer, guru selalu dipuji sebagai peletak dasar peradaban.

Namun, pertanyaannya: apakah kemuliaan itu cukup menjadi “upah”? Apakah penghormatan simbolik dapat menggantikan kebutuhan dasar guru untuk hidup layak? Tanpa kesejahteraan yang nyata, kemuliaan hanya menjadi retorika manis yang menjadikan guru korban romantisasi, bukan penghargaan sejati.

Ketika Guru Disarankan Jadi Pedagang

Beberapa yang waktu lalu, Menteri Agama sempat melontarkan pernyataan kontroversial: “Kalau mau cari uang, jangan jadi guru, jadilah pedagang.” Ucapan ini menuai kritik luas. Meski beliau sudah meminta maaf dan menegaskan tidak bermaksud merendahkan guru, kalimat itu telanjur membekas. Bagi banyak orang, pernyataan itu seperti pengakuan jujur bahwa profesi guru memang jauh dari kesejahteraan.

Menag di satu sisi menegaskan bahwa profesi guru itu mulia, bahkan amal jariyah yang pahalanya tak terputus. Namun di sisi lain, ucapannya justru menyingkap borok lama bangsa ini: mengapa profesi yang disebut paling mulia selalu identik dengan penderitaan finansial? Mengapa kita terus merayakan guru dengan slogan manis, tetapi gagal menjamin kesejahteraan mereka secara nyata?

Potret Kesejahteraan Guru Hari Ini

Realitas di lapangan begitu kontras dengan kata-kata indah. Ribuan guru honorer di seluruh Indonesia masih menerima gaji di bawah UMR,  dan tak sedikit guru yang akhirnya mencari kerja sampingan. Ada yang jadi ojek online, pedagang pasar, hingga pekerja serabutan. Bayangkan, siang hari ia mengajar murid tentang moral dan cita-cita, malamnya ia harus keliling jalanan demi menyambung hidup. Bukankah ini ironi bangsa yang selalu menyebut guru sebagai pahlawan?

Mulia Tanpa Sejahtera? Paradoks Profesi Guru

Guru setiap hari harus menghadapi kurikulum yang terus berubah, menanamkan karakter, membawa inovasi digital ke ruang kelas, sekaligus menuntaskan tumpukan administrasi. Di balik semua tuntutan itu, banyak guru justru masih berjuang sekadar untuk bertahan hidup. Negara meminta mereka melahirkan generasi emas 2045, padahal mereka sendiri masih terjebak dalam jerat kemiskinan struktural. Bagaimana mungkin generasi emas lahir dari pendidikan yang gurunya hidup dengan perut lapar?

Pernyataan Menag beberapa waktu lalu sesungguhnya mempertegas narasi lama: bangsa ini menuntut guru untuk ikhlas, sabar, dan menerima keterbatasan hanya karena profesinya dianggap mulia, padahal guru tetap manusia yang harus memenuhi kebutuhan hidup nyata. Romantisasi semacam ini membahayakan, karena jika terus dibiarkan, narasi itu akan menggerus kualitas pendidikan. Guru yang sibuk mencari penghasilan tambahan kehilangan fokus di kelas, dan murid yang mestinya mendapat bimbingan penuh hanya menerima sisa perhatian serta tenaga gurunya.

Implikasi Sosial dan Pendidikan

Masalah kesejahteraan guru bukan sekadar isu gaji, melainkan soal keberlanjutan masa depan bangsa. Guru yang kelelahan karena harus mengajar sekaligus mencari nafkah tambahan tidak akan mampu menghadirkan pembelajaran terbaik.

Lebih jauh lagi, ketidakadilan ini bisa mematikan minat generasi muda untuk menjadi guru. Tak heran jika banyak lulusan sarjana pendidikan memilih profesi lain, karena melihat pahitnya realitas hidup guru. Kalau tren ini terus berlanjut, siapa kelak yang akan mendidik anak-anak kita?

Apa yang Harus Dilakukan?

Kita harus berhenti memperlakukan guru sebagai objek janji politik dan segera mewujudkan kesejahteraan mereka lewat langkah nyata, bukan sekadar retorika. Pemerintah perlu mereformasi sistem gaji dan tunjangan agar sesuai dengan standar hidup layak, bukan hanya bergantung pada status ASN. Selain itu, negara harus menerapkan insentif berbasis kinerja supaya guru yang inovatif dan berdedikasi mendapatkan apresiasi setimpal atas kerja kerasnya. Kita juga perlu memperkuat organisasi guru agar benar-benar menjadi wadah perjuangan kesejahteraan yang independen, bukan alat politik semata. Bangsa ini harus menegaskan narasi baru tentang guru dengan menunjukkan bahwa kemuliaan tidak cukup dirayakan lewat pujian, tetapi harus dibuktikan melalui kebijakan nyata yang menjamin kesejahteraan mereka.

Guru Butuh Lebih dari Sekadar Pujian

Guru memang tetap mulia. Tetapi kemuliaan tanpa kesejahteraan hanya meninggalkan luka yang dalam. Jika bangsa ini serius ingin mewujudkan generasi emas, kesejahteraan guru adalah syarat mutlak.

Kita harus berani jujur: tidak akan lahir generasi emas dari guru yang hidupnya perak, apalagi tembaga. Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah guru itu mulia, melainkan apakah kita benar-benar memuliakan mereka dengan memberikan kesejahteraan yang layak.

Baca Juga: 

Guru dituntut sebagai Teladan Cinta, Negara Pertontonkan Kekerasan

Tua Bukan Berarti Usang: Makna Hidup Lansia di Era Modern

Guru: Pilar Pendidikan atau Beban Negara ?

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *