Paradigma Kurikulum Berbasis Cinta – Pendidikan hari ini menghadapi tantangan besar: dehumanisasi akibat sistem yang terlalu menekankan angka, kepatuhan formal, dan capaian akademik semata. Akibatnya, ruh kemanusiaan perlahan tergerus oleh logika kompetisi dan tekanan standar. Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) hadir sebagai jawaban transformatif. Ia menawarkan pergeseran paradigma mendasar dengan menghadirkan cinta sebagai prinsip utama dalam pendidikan.
KBC menuntun kita memandang dunia dan kehidupan melalui lensa kasih sayang, bukan lagi ketakutan atau dominasi. Kurikulum ini mentransformasi cara pandang kita dalam empat dimensi krusial: menggeser teologi maskulin menjadi teologi cinta, mengalihkan orientasi hukum formal menjadi orientasi kasih, mengubah pandangan antroposentris menjadi ekoteologi, serta menggantikan pemikiran atomistik dengan pendekatan holistik.
Baca Juga: Indonesia Emas 2045 Dimulai dari Ruang Kelas: KBC
- Dari Teologi Maskulin Menjadi Teologi Cinta
Selama ini banyak pihak menampilkan wajah agama secara maskulin dengan menekankan sifat jalaliyah (keagungan dan kekuasaan) Tuhan. Akibatnya, ajaran agama sering tampil kaku, penuh ancaman, bahkan melekat dengan kekerasan simbolik.
KBC menggeser paradigma tersebut dengan menghadirkan Teologi Cinta yang menekankan sifat jamaliyah (keindahan dan kasih sayang) Tuhan. Kurikulum ini menampilkan wajah Islam yang lembut, ramah, dan penuh kasih. Dalam praktiknya, madrasah membangun kedisiplinan bukan dengan ancaman, melainkan melalui disiplin positif yang berakar pada kesadaran internal murid.
Guru pun mengajarkan agama bukan sebagai doktrin yang menakutkan, tetapi sebagai proses menumbuhkan cinta kepada Allah dan seluruh makhluk-Nya. Dengan pendekatan ini, nilai-nilai agama hadir membahagiakan, bukan menakutkan.
2. Dari Nomos-Oriented Menjadi Eros-Oriented
Paradigma lama yang nomos-oriented menekankan hukum formal: ibadah dipandang sebatas kewajiban yang menentukan pahala atau dosa. Pola ini sering kali melahirkan kepatuhan yang dangkal, hanya berdasarkan rasa takut atau berharap imbalan.
KBC mengajak beralih ke paradigma eros-oriented, yang menekankan cinta, makna, dan hikmah di balik ibadah. Shalat, misalnya, bukan sekadar rutinitas, tetapi ekspresi cinta dan kerinduan seorang hamba kepada Tuhannya.
Dengan orientasi ini, disiplin murid tidak lagi bersumber dari tekanan luar, melainkan tumbuh dari kesadaran batin. Kepatuhan bukanlah beban, melainkan ekspresi cinta yang otentik.
-
Dari Antroposentris Menjadi Ekoteologi
Selama berabad-abad, manusia menempatkan dirinya sebagai pusat alam semesta. Pandangan antroposentris ini kerap berujung pada eksploitasi alam secara serampangan. Hasilnya adalah krisis ekologis yang kita saksikan hari ini.
KBC menawarkan Ekoteologi: melihat alam sebagai tajalli (manifestasi) dari Allah. Alam bukan objek yang bisa dieksploitasi sesuka hati, tetapi bagian dari realitas Ilahi yang harus dihormati dan dicintai.
Secara praktis, menjaga kebersihan sekolah, mengurangi sampah plastik, menanam pohon, atau hemat energi bukan hanya kegiatan teknis, melainkan ekspresi cinta kepada Pencipta. Inilah dimensi ekologis dari KBC: mengajarkan murid mencintai bumi sebagaimana mencintai diri sendiri.
Baca Juga: Makna Cinta dalam Berbagai Perspektif
-
Dari Atomistik Menjadi Holistik
Paradigma atomistik memandang realitas sebagai entitas yang terpisah-pisah: “aku” berbeda dari “yang lain”. Pola pikir ini sering melahirkan prasangka, konflik, dan keterasingan.
KBC menggeser pandangan itu ke arah holistik, melihat realitas sebagai satu kesatuan yang saling terhubung. Dalam perspektif ini, kebahagiaan orang lain, kesejahteraan lingkungan, dan kedamaian sosial adalah bagian dari kebahagiaan diri sendiri.
Di madrasah, ini berarti membangun inklusivitas, menerima perbedaan, dan menghargai keberagaman. Murid diajak untuk melihat “yang lain” bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian dari satu keluarga besar kemanusiaan.
Paradigma Kurikulum Berbasis Cinta: Pendidikan yang Menyembuhkan
Kurikulum Berbasis Cinta merepresentasikan paradigma baru pendidikan: menggeser wajah agama dan pendidikan dari yang kaku, menakutkan, dan terfragmentasi menuju wajah yang penuh cinta, inklusif, dan menyembuhkan.
Dengan empat dimensi transformasi ini, KBC tidak hanya membentuk murid yang cerdas, tetapi juga berkarakter, peduli lingkungan, dan mampu hidup harmonis dengan sesama. Pada akhirnya, pendidikan berbasis cinta bukan sekadar wacana, melainkan jalan menuju peradaban yang lebih adil, damai, dan berkelanjutan.
Sumber :
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 6077 Tahun 2025
Panduan Kurikulum Berbasis Cinta di Madrasah