Site icon mukhliszr.mj-vers.com

Tua Bukan Berarti Usang: Makna Hidup Lansia di Era Modern

Tua bukan berarti usang

Menjadi Tua Adalah Keniscayaan

Tidak ada seorang pun yang bisa menghindar dari hukum alam bernama penuaan. Setiap helai rambut yang memutih, kulit yang berkeriput, dan langkah yang melambat, adalah tanda bahwa manusia sedang memasuki fase baru dalam perjalanan hidupnya. Namun, di era modern yang serba cepat dan materialistis, lansia kerap dipandang sebelah mata. Tidak sedikit yang menganggap mereka sudah tidak produktif, usang, bahkan menjadi beban keluarga dan negara.

Al-Qur’an memberikan pandangan yang jauh lebih mulia. QS. Yāsīn [36]:68 :

وَمَنْ نُّعَمِّرْهُ نُـنَكِّسْهُ فِى الْخَـلْقِ ۗ اَفَلَا يَعْقِلُوْنَ
“Dan barang siapa Kami panjangkan umurnya, niscaya Kami kembalikan dia kepada keadaan semula (lemah). Maka mengapa mereka tidak mengerti?”

Ayat ini bukan sekadar gambaran biologis tentang menurunnya kekuatan fisik, tetapi juga pesan spiritual yang mendalam. Penuaan adalah proses alami yang menegaskan keterbatasan manusia, sekaligus momentum untuk menata diri agar semakin dekat kepada Allah. Penelitian Mukhlis & Amelia Yetri (2024) melalui pendekatan Ma‘nā Cum-Maghzā bahkan menegaskan bahwa ayat ini memiliki relevansi sosial, psikologis, dan teologis bagi kehidupan lansia di era modern.

Potret Lansia di Indonesia: Dari Data Menuju Realita

Indonesia kini tengah menghadapi fenomena yang disebut ageing population. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada 2023 jumlah lansia mencapai 11,75% dari total populasi. Diperkirakan, angka ini akan melonjak menjadi 20% (sekitar 65 juta jiwa) pada 2045, tepat saat Indonesia merayakan satu abad kemerdekaannya.

Namun, pertanyaan besar muncul: apakah peningkatan jumlah lansia ini akan menjadi berkah atau justru beban?

Data ini memperlihatkan bahwa menjadi tua di era modern memang penuh tantangan. Namun, tantangan itu seharusnya tidak menghapus makna hidup lansia.

Makna Penuaan dalam Perspektif Al-Qur’an : Tua Bukan Berarti Usang

Penelitian Mukhlis & Amelia Yetri (2024) menafsirkan QS. Yāsīn [36]:68 dengan pendekatan Ma‘nā Cum-Maghzā, yang memadukan tiga tahap analisis:

  1. Makna historis
    Ayat ini menggambarkan konsep naks (pelemahan), yaitu siklus kehidupan manusia dari masa kuat menuju lemah. Proses penuaan dipahami sebagai bagian alami dari perjalanan eksistensial manusia.

  2. Signifikansi fenomenal historis
    Penuaan tidak hanya sekadar melemahnya fisik, tetapi juga momentum spiritual. Lansia diingatkan akan keterbatasan manusia, sehingga perlu mempersiapkan diri dengan iman, kesabaran, dan amal kebaikan.

  3. Signifikansi fenomenal dinamis
    Ayat ini relevan dengan realitas kontemporer. Lansia hari ini menghadapi isolasi sosial, krisis identitas, dan kebutuhan akan bimbingan spiritual. Dalam konteks ini, Al-Qur’an memberikan landasan bagi pengembangan kebijakan berbasis nilai Islam yang menempatkan lansia sebagai subjek bermartabat, bukan sekadar objek belas kasihan.

Dengan demikian, ayat ini meneguhkan pandangan bahwa usia senja bukanlah fase usang, melainkan fase penguatan makna hidup.

Tantangan Lansia di Era Modern

Menghadapi kenyataan hidup di era digital, lansia menghadapi berbagai tantangan:

Tantangan ini harus dijawab dengan pendekatan multidimensi: kesehatan, sosial, psikologis, dan spiritual.

Lansia Sebagai Penjaga Nilai Spiritual dan Sosial

Meski penuh keterbatasan, lansia sesungguhnya menyimpan kekuatan besar. Mereka adalah penjaga nilai spiritual di tengah arus materialisme. Dalam keluarga, kehadiran lansia mampu menumbuhkan rasa hormat, kesabaran, dan empati bagi generasi muda.

Dalam masyarakat, lansia berperan sebagai teladan moral dan sumber inspirasi. Banyak kearifan lokal, budaya, dan tradisi Islam yang terjaga berkat keberadaan lansia. Mereka adalah “perpustakaan hidup” yang menyimpan sejarah panjang, sekaligus pengingat bahwa hidup tidak hanya tentang kecepatan, melainkan juga kedalaman.

Menemukan Makna Hidup di Usia Senja

Bagaimana lansia menemukan makna hidup di era modern? Ada beberapa cara yang bisa ditempuh:

  1. Tetap aktif sosial
    Keterlibatan lansia dalam kegiatan pengajian, komunitas, atau aktivitas sosial bisa mengurangi rasa sepi sekaligus memperkuat ikatan sosial.

  2. Memanfaatkan teknologi secara inklusif
    Era digital bukan untuk dihindari, melainkan dijadikan peluang. Banyak lansia kini mampu menggunakan media sosial untuk berbagi kisah, pengalaman, bahkan dakwah.

  3. Menguatkan spiritualitas
    Usia senja adalah momen emas untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah, doa, dan berbagi kebaikan menjadi sumber ketenangan jiwa.

Peran Keluarga, Masyarakat, dan Negara

Menciptakan lansia yang bahagia dan bermartabat bukan hanya tugas individu, tetapi juga tanggung jawab kolektif.

Menua dengan Bermakna : Tua bukan berarti Usang

Menjadi tua bukan berarti usang. Lansia adalah aset bangsa, bukan beban. QS. Yāsīn [36]:68 mengingatkan bahwa penuaan adalah siklus kehidupan, sekaligus panggilan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah.

Era modern memang menghadirkan tantangan berat, mulai dari penyakit kronis, demensia, hingga isolasi digital. Namun, dengan dukungan keluarga, masyarakat, dan negara, lansia dapat tetap menua dengan bermartabat, sehat, dan penuh makna.

Pada akhirnya, usia senja adalah fase mulia: fase di mana manusia kembali ke titik kelemahan, tetapi dengan hikmah yang membuatnya semakin kuat.

Baca Juga :

Masjid, Madrasah, dan Media: 3 Pilar Edukasi Islam yang Harus Berjalan Bersama

Krisis Literasi di Era Digital: Saat Seni Membaca Perlahan Menghilang

Guru: Pilar Pendidikan atau Beban Negara ?

Exit mobile version