Site icon mukhliszr.mj-vers.com

Wajah Kekuasaan yang Menginjak: Semut, Ojol, dan Raja dalam Cermin Al-Qurán

Wajah Kekuasaan yang Menginjak Semut Ojol Raja

Wajah Kekuasaan yang Menginjak – Di dalam Al-Qur’an, kita menemukan kisah yang begitu sederhana namun sarat akan makna. Dalam Q.S. An-Naml:18, menceritakan seekor semut yang panik ketika melihat pasukan besar Nabi Sulaiman datang, lalu semut tersebut memberikan peringatan kepada koloninya agar masuk ke dalam sarangnya supaya tidak terinjak oleh pasukan Nabi Sulaiman. Kisah ini bukan sekadar dongeng spiritual; ia adalah cermin relasi antara kekuasaan dan rakyat kecil. Menariknya, Nabi Sulaiman, seorang raja besar yang memiliki bala tentara dari kalangan manusia, jin, dan burung, justru berhenti dan tersenyum mendengar suara semut. Artinya, kekuasaan sejati adalah kekuasaan yang mau mendengar suara kecil, terlepas sekecil apa pun itu.

Namun, bagaimana dengan wajah kekuasaan hari ini? Tragedi yang menewaskan seorang pengemudi ojek online (ojol) bernama Afan Kurniawan dalam demonstrasi buruh di Jakarta, ketika sebuah kendaraan taktis Brimob melindas tubuhnya, memberi kita jawaban yang getir: bahwa kekuasaan modern masih mewarisi wajah lama, wajah kekuasaan yang menginjak.

Menginjak Rakyat: Narasi yang Tak Pernah Usai

“Menginjak Rakyat: adalah Wajah Asli Para Raja”. Berdasarkan refleksi sejarah, bagaimana penguasa masa lalu seringkali mempertontonkan arogansi dengan menjadikan rakyat sebagai alas pijak kekuasaan. Ironisnya, pola itu tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berganti rupa. Jika dulu rakyat ditindas oleh raja dengan pedang dan upeti, hari ini rakyat dihadapkan pada aparatus negara yang bersembunyi di balik jargon pengayoman dan keamanan.

Demo buruh 28 Agustus 2025 menjadi saksi. Ribuan rakyat pekerja turun ke jalan menuntut hak-hak dasar: upah layak, penghapusan outsourcing, dan perlindungan dari gelombang PHK. Alih-alih mendapatkan telinga yang mendengar, mereka berhadapan dengan gas air mata, pentungan, dan kendaraan taktis. Bahkan, seorang rakyat jelata yang hanya mencari nafkah di jalanan harus meregang nyawa. Sejarah kembali mengulang diri: rakyat diinjak, secara harfiah maupun simbolis.

Semut Sebagai Simbol Rakyat Jelata

Mengapa saya kembali menyebut semut? Karena semut adalah metafora paling tepat untuk menggambarkan rakyat kecil. Mereka kecil, rapuh, sering tak diperhitungkan. Tetapi, dalam pandangan Islam, suara sekecil semut sekalipun patut dihargai. Nabi Sulaiman yang memiliki kekuasaan luar biasa justru tidak menganggap enteng suara semut. Ia mendengar, memahami, dan menghargainya.

Bandingkan dengan penguasa kita hari ini. Suara rakyat yang menggema lewat demonstrasi sering dicap sebagai ancaman ketertiban. Jeritan buruh dianggap gangguan lalu lintas. Bahkan suara protes ojol yang hanya lewat di jalanan bisa berujung maut. Kekuasaan kita, alih-alih meneladani Nabi Sulaiman, justru lebih mirip dengan raja-raja yang buta dan tuli terhadap suara rakyat kecil.

Ojol Sebagai Potret Rakyat di Jalanan

Afan Kurniawan bukanlah aktivis, bukan pula orator lapangan. Ia hanyalah seorang pengemudi ojol, simbol dari jutaan rakyat pekerja yang menggantungkan hidup dari keringat di jalanan. Ketika hidup semakin sulit, ketika biaya hidup naik dan pekerjaan kian tak pasti, rakyat kecil seperti Afan berjuang tanpa suara lantang. Namun tragisnya, ia justru menjadi korban di tengah hiruk-pikuk demonstrasi.

Ojol adalah cermin nyata rakyat Indonesia: mandiri tetapi rentan, bekerja keras tetapi tetap berada di lapisan bawah piramida sosial. Tragedi hari ini adalah peringatan keras bahwa sistem kita seringkali gagal melindungi mereka yang paling lemah. Rakyat kecil bukan hanya tidak didengar, tetapi juga bisa terinjak, secara literal oleh roda kekuasaan yang seharusnya melindungi.

Raja-Raja Baru: Wajah Kekuasaan yang Menginjak 

Di titik inilah kita melihat lahirnya “raja-raja baru.” Tragedi telah membuktikan bagaimana penguasa dengan mahkota, istana dan seragam resmi negara bisa menjelma menjadi “raja” yang arogan. menganggap rakyat hanya objek yang harus diatur, dikendalikan, bahkan ditaklukkan. Gas air mata, pentungan, hingga kendaraan taktis dijadikan bahasa kekuasaan. Padahal, seharusnya berdiri sebagai pengayom, bukan penginjak. Mereka lupa bahwa kekuasaan tanpa moral hanyalah tirani dengan wajah modern.

Kontras dengan Nabi Sulaiman: ia berkuasa tetapi tetap rendah hati; ia besar tetapi mau mendengar yang kecil. Raja-raja baru kita justru sebaliknya: berkuasa dengan represif, tetapi tuli terhadap suara rakyat.

Kekuasaan dan Tanggung Jawab Moral

Kekuasaan, dalam pandangan agama, bukan sekadar jabatan atau wewenang, melainkan amanah. Seorang pemimpin tidak hanya bertanggung jawab di hadapan rakyat, tetapi juga di hadapan Tuhan. Rasulullah SAW mengingatkan: “Imam (pemimpin) adalah penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya.”

Namun, apakah wajah kekuasaan kita hari ini mencerminkan penggembala? Atau justru menyerupai predator yang memangsa domba-dombanya sendiri?

Tragedi ini harus menjadi cermin. Bahwa kekuasaan yang menginjak hanya akan memperpanjang luka sosial. Bahwa negara yang abai pada rakyat kecil hanya akan menanam bara ketidakpercayaan. Dan bahwa demokrasi tanpa kemanusiaan hanyalah tirani yang berganti baju.

Kita semua perlu belajar dari kisah semut dalam Al-Qur’an. Nabi Sulaiman, dengan segala kejayaannya, tidak pernah menginjak semut. Ia mendengar, tersenyum, dan menghargai kehidupan kecil itu. Bandingkan dengan kita hari ini: seorang ojol harus kehilangan nyawa di bawah roda kekuasaan.

Tragedi ini bukan sekadar insiden. Ia adalah simbol dari wajah kekuasaan yang harus diubah. Aparat, penguasa, dan seluruh pemegang kuasa perlu ingat: rakyat bukan semut untuk diinjak, tetapi suara yang harus didengar.

Baca Juga: Guru: Pilar Pendidikan atau Beban Negara ?

Exit mobile version