Site icon mukhliszr.mj-vers.com

Tanggung Jawab Siapa? Retaknya Kontrak Sosial antara Rakyat dan Elit

Retaknya Kontrak Sosial antara Rakyat dan Elit

Retaknya Kontrak Sosial antara Rakyat dan Elit – Ketika jalanan dipenuhi pekikan massa, pagar-pagar gedung parlemen diguncang amarah rakyat yang memuncak, satu pertanyaan besar menyeruak: tanggung jawab siapa semua ini? Apakah tragedi di jalanan hanya soal rakyat yang emosional? Atau ada akar yang lebih dalam, sebuah kontrak sosial yang retak karena negara gagal mendengar aspirasi warganya.

Kemarahan publik bukanlah kejutan yang jatuh dari langit. Amarah lahir dari proses panjang: ketidakadilan yang menumpuk → rakyat merasa dipinggirkan → protes yang diabaikan → demonstrasi membesar → bentrok dan chaos. Inilah rantai sebab-akibat yang tak terbantahkan. Jika yang berwenang terus menutup telinga, maka rakyat akan berteriak dengan cara lain, bisa dengan suara, dengan langkah kaki, bahkan dengan tubuh mereka sendiri.

Kontrak Sosial yang Retak

Para filsuf politik klasik seperti Thomas Hobbes, John Locke, hingga Jean-Jacques Rousseau mengajarkan bahwa negara ada karena sebuah kontrak: rakyat menyerahkan sebagian kebebasan mereka, lalu negara berkewajiban melindungi hak dan kepentingan rakyat.

Namun, apa jadinya jika negara gagal menjalankan tanggung jawab itu? Kontrak sosial pun retak, legitimasi runtuh, dan rakyat berhak menagih janji.

Fenomena demonstrasi besar yang kini terjadi adalah cermin dari hilangnya rasa percaya. Wakil rakyat yang seharusnya mendengar suara konstituen justru larut dalam urusan politik elitis. Aparat yang semestinya mengayomi berubah menjadi tangan besi yang represif. Elit yang diharapkan menjadi penengah malah sibuk saling menyalahkan. Akhirnya, rakyat kembali diposisikan sebagai pihak yang salah karena dianggap “membuat gaduh”.

Data Aktual: Penjarahan Rumah sebagai Gejala Nyata

Ketika kepercayaan sudah benar-benar pudar, simbol-simbol elit pun menjadi sasaran kemarahan rakyat. Rumah bukan lagi sekadar tempat tinggal, melainkan dianggap lambang kekuasaan yang tak tersentuh. Ironisnya, amarah yang tak tertampung itu akhirnya meledak dalam bentuk yang justru menodai nilai perjuangan.

Kediaman Ahmad Sahroni, diserbu ratusan massa. Gerbang mewah yang dulu berdiri gagah runtuh, jendela dipecahkan, mobil mewah dirusak, interior rumah dijarah, hingga brankas berisi dolar pun ikut dibongkar. Rumah Eko Patrio, juga tak luput dari amukan massa yang menerobos pagar, menghancurkan kaca, dan membawa apa saja yang bisa diangkut.

Tak berhenti di situ, rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani di Bintaro diserbu, dengan perhiasan, barang elektronik, dan barang lainnya. Terbaru, kediaman Uya Kuya, artis sekaligus anggota DPR, juga menjadi sasaran amukan Massa.

Kita semua sangat menyayangkan peristiwa ini terjadi. Karena apa yang sejatinya lahir dari suara hati rakyat untuk menuntut keadilan, justru tercoreng oleh tindakan anarkis yang lebih mirip festival penjarahan ketimbang perjuangan moral. Jika rumah elit menjadi panggung amarah, maka kontrak sosial yang retak bukan hanya menelanjangi kelalaian negara, tetapi juga menodai moral perjuangan rakyat itu sendiri.

Siapa yang Bertanggung Jawab? Retaknya Kontrak Sosial antara Rakyat dan Elit

Pertanyaan mendasar ini tidak bisa dihindari: siapa yang harus bertanggung jawab atas keretakan ini?

Dengan kata lain, setiap pihak punya tanggung jawab moral yang diabaikan. Rakyat wajib menjaga agar protes tidak berubah menjadi anarki. Aparat wajib menjaga keamanan tanpa mengorbankan hak sipil. Negara wajib mendengar, merangkul, dan memberi solusi. Tetapi ketika semua saling lalai, maka chaos menjadi keniscayaan.

Demokrasi Tanpa Telinga

Krisis yang kita hadapi bukan sekadar soal kerusuhan jalanan, melainkan soal demokrasi yang kehilangan telinga. Demokrasi sejati tidak hanya hidup di bilik suara lima tahun sekali, tetapi juga di jalanan, di forum-forum publik, di ruang-ruang diskusi di mana rakyat bersuara.

Sayangnya, suara itu kini dianggap bising, dianggap gangguan, dianggap ancaman. Padahal, sejarah membuktikan: bangsa yang menolak mendengar rakyatnya pada akhirnya runtuh dari dalam. Mesir pernah bergolak, Tunisia bergejolak, hingga negara-negara maju pun tak kebal dari krisis legitimasi. Indonesia harus belajar dari sejarah itu.

Menutup dengan Refleksi

Retaknya kontrak sosial ini memberi pelajaran penting: demokrasi hanya akan sehat jika rakyat merasa didengar, wakil rakyat benar-benar mewakili, dan aparat bertugas melindungi, bukan menakut-nakuti.

Jika tidak, kita hanya akan terjebak dalam siklus yang sama: ketidakadilan melahirkan amarah, amarah melahirkan demonstrasi, demonstrasi melahirkan chaos, lalu kekerasan kembali menjadi jawaban.

Kini saatnya kita bertanya: apakah negara masih setia pada kontrak sosialnya? Jika tidak, rakyat punya hak penuh untuk menagih, mengingatkan, bahkan menggugat. Demokrasi bukanlah hadiah dari elit, melainkan hak rakyat yang seharusnya dijaga bersama.

Karena pada akhirnya, tragedi ini bukan sekadar soal demonstrasi, melainkan cermin retaknya tanggung jawab. Dan ketika kontrak sosial hancur, yang runtuh bukan hanya legitimasi negara, melainkan juga masa depan demokrasi itu sendiri.

Pada akhirnya, tragedi ini seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak: negara, wakil rakyat, aparat, hingga masyarakat sipil. Kontrak sosial tidak boleh dipandang sebagai teks mati, melainkan kesepakatan hidup yang mengikat moral dan politik. Jika satu pihak lalai, yang runtuh bukan hanya kepercayaan, melainkan juga masa depan bangsa. 

Baca Juga : Wajah Kekuasaan yang Menginjak: Semut, Ojol, dan Raja dalam Cermin Al-Qurán

Exit mobile version